Kamis, Juli 17, 2008

Djoenaedi Joesoef: Turut Serta Membahagiakan Bangsa

Siapa yang tak kenal Konimex? Perusahaan yang bergerak di bidang produksi obat-obatan dan makanan ini kini dikenal masyarakat luas karena produk-produknya yang murah, aman, berkualitas, dan teruji khasiatnya. PT Konimex Pharmaceutical Industries, begitu nama lengkap perusahaan ini yang didirikan pada tahun 1967 ini, memiliki puluhan jenis produk unggulan, mulai dari Paramex, Inza, Inzana, Konidin, Thermorex, Fit up, Feminax, Braito, Konicare, Sentia, Redaxin, hingga Hexos, Nano-nano, Eski, serta Frozz.


Pada awal hanyalah sebuah usaha kecil di bidang perdagangan obat-obatan, bahan kimia, alat laboratorium dan kedokteran. Dirintis dari nol dengan nama NV Kondang Sewu, Konimex yang merupakan kependekan dari Kondang Impor Export ini menjelma menjadi perusahaan kaliber nasional yang potensial. Dengan falsafah sederhana, hidup bahagia bagi semua orang, keluarga, dan bangsa. Untuk mewujudkan masyarakat dengan kondisi kesehatan yang baik itulah Konimex berperan melalui usaha penyediaan obat-obat dan makanan yang diproduksinya.

Menyebut kesuksesan Konimex tentu tak dapat dipisahkan dari Djoenaedi Joesoef, pendiri yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Konimex. Adalah tangan dingin Djoen, panggilan kecilnya, yang mengantarkan Konimex menjadi salah satu perusahaan tersukses di Indonesia. Untuk mencapai semua kesuksesannya itu, ia telah menempuh jalan yang berliku. Ketika memulai dari nol, ia berjualan keliling atau bahkan harus rela menginap di rumah pelanggan.

Kunci dari semua perjuangannya tersebut, katanya, mau belajar, memiliki semangat, dan disiplin. Jika disiplin sudah berhasil dijalankan, maka orang itu sudah mempunyai integritas. “Integritas itu sangat penting. Kepercayaan orang untuk melakukan bisnis dengan kita, tidak cukup hanya dengan kemampuan saja, tapi integritas. Nah, dari integritas itu nantinya akan menghasilkan hubungan baik,” pesan Djoen.

Jerih payahnya kini terbayar lunas. Perusahaan yang berproduksi di Solo, Jawa Tengah ini pun mengepakkan sayapnya ke penjuru nusantara hingga mancanegara. Sekarang ia dapat tersenyum lebar sembari menularkan kegembiraannya pada sesama. “Hidup bahagia tersebut dapat dinikmati apabila kondisi kesehatan baik,” kata pria yang bernama asli Joe Djioe Liang, saat ditemui S.S. Budi Rahardjo dan Qusyaini Hasan dari HealthNews, di kantornya di Plaza Konimex Lt. 9 Jakarta. Ia ditemani dua anaknya, Edijanto Joesoef dan Rahmadi Joesoef, yang kini diberi kewenangan untuk meneruskan operasional perusahaan. Berikut petikan wawancaranya:

****

Apa yang menjadikan Konimex mampu berkembang sebesar dan sepesat sekarang?

Pada awalnya, Konimex bergerak di bidang jual beli obat hingga peralatan kesehatan yang sangat menguntungkanLama-lama saya pikir susah juga berkutat di banyak produk. Akhirnya, saya putuskan untuk berkonsentrasi di bidang obat-obatan saja. Sejak tahun 1972 memfokuskan pada kegiatan perdagangan serta produksi obat generic. Resep dokter saya stop. Konsentrasi di obat tanpa resep. Kita ingin focus.


Anda yakin langkah ini lebih menguntungkan?

Saya pikir ini yang menguntungkan dan untuk fokus! Dan akan memberikan pendapatan yang terbaik bagi saya. Buktinya, dimulai dari puluhan pegawai, sekarang Konimex didukung oleh 4.000 pegawai. Kami memiliki kantor cabang hampir di seluruh provinsi, punya kantor di pusat kota Jakarta serta gudang di Pulo Gadung, Jakarta. Dengan ratusan produk dan merek, kita kini ada di pelosok Indonesia dan merambah dunia internasional dengan mendistribusikan produknya di Singapura, Taiwan, Malaysia, Hong Kong, dan Filipina.

Kalau ada prioritas, pilih pasar internasional atau Indonesia?
Kita sudah menuju ke arah sana, tapi tidak mudah. Kita utamakan Indonesia dululah. Kalau di ASEAN, Indonesia memiliki penduduk yang paling besar. Jualan di tempat sendiri saja tidak gampang, apalagi ke negara lain. Lebih banyak peraturan, undang-undang, dan relasinya lain. Kita mulai tapi sedikit, tidak gampang dan tidak semua barang bisa masuk.

Apa yang membuat produk Konimex mampu merebut hati konsumen? Padahal, produk nasional sering kalah dibanding produk luar negeri?

Kita di Indonesia memang banyak produk yang dikuasai perusahaan asing. Namun, produk Indonesia oleh perusahaan Indonesia sendiri sebetulnya ada. Barang kita tidak kalah kok. Kualitas kita juga tidak kalah. Kita punya falsafah tiga Mu. Mutu, mudah, murah. Mutu mesti baik, mudah didapat, dan murah orang kecil bisa beli.

Apa kelebihan Anda sebagai produsen obat dalam negeri daripada asing?
Menangnya kita di jalur distribusi. Kita sudah memahami daerah-daerah. Mereka datang, kan masih mau berkenalan dulu, baik budaya atau relasi. Kita lahir dan tumbuh di sini, relasinya kan lebih banyak. Asing itu menangnya di pengetahuannya yang lebih dulu dari kita. Dia sudah punya satu induk yang jauh lebih concern daripada kita. Kalau dia kirim ke sini seorang panglima, dia belajar cepat. Dia selalu mempelajari yang dianggap lawan, pimpinannya, wataknya orang seperti apa, dia pelajari betul. Ketika panglima datang, terus kalah, dia ganti orang.

Apakah distribusi yang kuat ini yang membuat produk Konimex merambah sampai pelosok?

Saya buka distribusi seluas mungkin. Kalau tentara, kan di medan perang punya barak. Ya, meniru bank lah. Semua kota besar. Di beberapa daerah, memang ada hambatan soal keanaman. Ini memang menyulitkan pebisnis untuk mengembangkan usahanya. Sebagai contoh, dulu di Aceh yang harus tutup karena GAM. Di Poso, kita harus mengeluarkan cost tambahan karena ada kerusuhan di tempat tersebut. Begitu juga di Sampit. Namun, seperti prinsip orang dagang. Kalau aman dagang, kalau tidak aman ya nanti dulu. Tentu saja untuk dagang di tempat yang baru diperlukan keberanian. Selain itu, orang dan sarana di daerah harus didayagunakan untuk mendukung usaha kita.


Soal kontrol terhadap kualitas produk bagaimana?

Untuk kualitas, ya quality control-nya harus ketat. Dan itu harus terus diperbaiki. Sejak bahan baku hingga distribusi produk ke daerah. Setiap daerah memiliki kode tertentu. Kualitas mesti baik. Bisnis kan banyak musuh juga. Kalau dia tidak senang sama kita, bisa saja mereka beli produk kita di suatu tempat. Katakanlah di Pacitan, Jawa Timur, lalu dites di laboratorium. Wah isinya kok tidak sesuai. Lapor pemerintah, masuk koran terus geger.

Quality control mengacu ke mana? Teknolog barat apa Cina?
Tidak ada. Quality control itu pembuktian yang dilakukan oleh alat-alat tes, validasi. Ada standarisasi tertentu. Itu tak bisa ada penafsiran yang lain. Misalnya tablet, isinya apa kita harus hitung. Ketika dites, isi tablet itu harus seperti yang tercantum. Alatnya canggih sekali sekarang.

Siapa pemberi warning kalau ada kesalahan?
Kami sendiri, Konimex. Dari bahan baku masuk, semua bahan pengemas, kita pakai sampling, tes terus, sample barangnya ada. Kalau ada kesalahan, kita celaka. Jadi kalau ada orang yang kurang baik, ada kode produksi, kita cek produk asli apa palsu, sampai sekarang kita control terus. Jadi, quality control itu pembuktian.

Apakah produk Konimex juga pernah dipalsukan?
Ada. Dimana-mana, barang bisa dipalsukan. Macam-macam motifnya. Ada yang ngambil untung dan sebagainya. Susah juga untuk memberantasnya. Kita buktikan kalau itu palsu, kita cari sumbernya. Yang penting jangan ada pemalsuan lagi.Untuk mencegahnya kemasannya saya bikin canggih. Yang bonafide. Paling tidak, misalnya, mereka ingin memalsu dan tertangkap petugas, korban finansial mereka juga besar.

****

Menjadi wirausahawan besar ternyata memang tidak mudah. Tidak ada sekolah formal yang dapat ditempuh. Taruhannya juga besar. Karena itu, wirausahawan besar mensyaratkan kesiapan untuk bertarung setiap saat, memiliki bakat, keberanian dan hoki. Belum lagi soal citra keamanan maupun tingkat korupsi bangsa yang membuat ekonomi biaya tinggi.


Bukan rahasia kalau dunia memandang Indonesia sebagai surga pengusaha kotor hingga koruptor. Namun, sejak diadakannya penghargaan bergengsi Entrepreneur Of The Year (EOY) dari kantor akuntan publik Ernst & Young kepada orang Indonesia, paradigma itu mulai berubah. Selama 17 tahun terakhir, program penghargaan EOY telah menjangkau lebih dari 30 negara.


Tak mudah meraih penghargaan yang diciptakan di AS (1986) itu. Pasalnya EOY diberikan bagi entrepreneur yang dinilai paling berhasil dan inovatif. Namun, pada tahun 2003 lalu, penghargaan bergengsi itu jatuh ke pelukan Djoenaedi Joesoef. Inilah bukti bahwa langkah fenomenal Djoen dalam dunia bisnis patut diberikan apresiasi. Misalnya, menjual obat tanpa resep dokter dalam kemasan empat butir sebagai paradigma penjualan obat yang meringankan rakyat kecil.

****

Untuk mendukung tiga Mu tadi, tentu butuh sumber daya manusia yang baik. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?

Mutu kita sebetulnya kita tidak kalah dengan luar negeri. Kita pakai orang lokal kok. Ya, kalau mereka belajar cukup seminggu untuk pintar, kita butuh waktu sebulan. Setelah itu kan sama. Tidak usah usah minder. Mereka unggul karena menguasai ilmu itu lebih dahulu dari kita. Tetapi kita apa kalah? Ya, tidak. Kita hanya terlalu lama dijajah, jadinya minder.


Apa kiat Anda untuk menjaga agar bisnis ini tetap eksis?

Tentu saja strategi bisnis yang diperbaharui terus-menerus. Memperbanyak produk kan falsafahnya seperti punya kapal perang lalu punya armada perang. Dan untuk itu tidak perlu mempekerjakan orang asing. Orang kita juga tidak kalah kok.


Sebagai salah satu entrepreneur yang sukses, menurut Anda, bagaimana agar enterpreneur tumbuh pesat di Indonesia?

Sampai sekarang masih banyak orang berpikir wirausahawan itu selalu konglomerat, padahal enterpreneur itu mulai dari tukang bakso hingga jual roti. Tapi, untuk menjadi wirausahawan besar tidak mudah. Tidak ada sekolahnya, butuh ilmu, banyak taruhan. Wirausahawan besar merupakan orang yang harus siap untuk bertarung setiap saat. Harus ada bakat, keberanian, dan hoki.


Mengapa Indonesia masih selalu kalah dibanding negara lain, padahal Indonesia memiliki sumber daya yang besar?

Sebagai perbandingan, jaman Jepang kita tak pernah kurang gula dan garam. Sekarang kita impor gula hingga garam. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Kita keluar jalur. Sejak jaman hebat Bung Karno, kok lemah lagi. Kalau diperbandingkan dengan Cina, berapa tahun mereka baru bisa mencapai kemajuan seperti sekarang? Menderitanya hampir 40 tahun. Namun yang membangun infrastruktur adalah pemerintah Cina sendiri. Di sini tidak, kebanyakan diborong orang luar. Padahal, kalau dihitung-hitung sebetulnya tidak usah.


Untuk mencapai kemajuan seperti Cina, apa yang harus dilakukan pemerintah?

Pemimpinnya harus jujur. Kesejahteraan pegawai pemerintah harus ditingkatkan. Selain itu, harus diperjelas tentang pengertian perkembangan ekonomi itu sendiri. Indonesia ini katanya ekonominya berkembang, tapi apa yang berkembang? Bangunan, real estat, mobil hingga sepeda motor itu kan tidak memberikan nilai tambah. Selain itu, pemerintah jangan mengganggu dunia usaha.


Izin dipermudah, meningkatkan produktivitas dan kreativitas masing-masing. Ya, memang harus minta izin atau dikontrol. Lihat saja mana ada jualan listrik dan air yang rugi. Tapi kita? Kontrol untuk melindungi masyarakat harus dijalankan.

Bagi Anda sendiri, kunci bisnis konimex terdapat pada alat, produk, atau pengambil keputusan?
Yang penting, interaksi dan relasi. Jangan bikin orang rugi. Kalau tidak mau dicubit, jangan cubit orang. Hubungan, itu yang mendatang bisnis transaksi yang untung. Saya misalnya, kalau beli, tidak pernah telat bayar. Komitmen, tepat janji. Kalau rugi, orang bisa misuh-misuh (mengumpat, red.), tidak senang. Ini filosofi perusahaan juga. Kalau untung, gimana bisa dagang. Menjembatani tempat dan waktu. Menjembatani barang dari tempat ke tempat, terang saja saya dapat untung. Iya toh? Kalau Bapak beli kayu di Irian Jaya terus jual di Jakarta, pasti untung, kan.

Apakah Anda juga dapat bantuan dari pemerintah tentang konversi obat murah?
Saya tidak ikut-ikut itu. Saya lebih baik swasta, pakai norma-norma bisnis yang wajar. Orang beli barang saya, beli lagi, dan gembira.

Kalau mendengar, harga obat mahal, apa perasaan Anda?
Obat bisa mahal mungkin saja karena dokter, penemuannya yang sulit, atau risetnya mahal. Setelah itu cari untung dari penjualan. Itu pengetahuan saya tidak sampai ke situ untuk men-judge. Amerika bisa maju, tapi obat mahal, yang bayar dan menentukan pabrik. Kalau kontrol tidak akurat, terjadi sesuatu hal, seperti obat mahal.

Ke depan, apa mimpi Anda selanjutnya?
Ya, bikin yang terbaik, dan hidup bahagia.

****

Sebagai anak Joe Hong Sian, pemilik Toko Obat Ing Thay Hoo, Djoen telah bergaul dengan obat sejak kecil. Setelah agak besar, ia disuruh menjajakan obat ke kampung-kampung. Caranya lihai juga. Di tiap warung yang didatanginya, ia membantu menjualkan. Djoen yang hafal hari pasaran Jawa pun sibuk melanglang buana. Misalnya, pada hari Pon ia di Wonogiri, atau Paing di Kartosuro, membawa sekalian obat jajaannya. Karenanya, ia mengenal kebudayaan Jawa, dan mahir berbahasa Jawa, baik kasar maupun halus.

­­­Revolusi fisik membuat sekolahnya berantakan, dan hanya sampai SMP. ''Masa itu memang kurang perhatian pada bangku sekolah,'' dalih pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 6 Juni 1933, ini. Revolusi reda, ia meneruskan kegiatan dagangnya, sampai ayahnya meninggal, pada tahun 1956. Ini lebih membangkitkan kesadaran dan tanggung jawabnya. Hingga, lika-liku kehidupan mengantarkan bapak empat anak ini di posisinya yang sekarang. Ia ibarat mata air inspirasi dunia bisnis, yang tak pernah habis.

Di usia lanjutnya, kakek 11 cucu ini tetap enerjik dan penuh semangat. Pria yang dulunya senang main pingpong, jalan kaki di pagi hari, atau lari mengelilingi lapangan Manahan, Solo, ini tetap menjadi sosok yang hangat dan menyenangkan. Senyum yang menyapa lawan bicaranya menjadi berharga, membumikan teori-teori bisnisnya yang ingin membahagiakan banyak orang.

****

Soal bisnis keluarga, bagaimana Anda menjaga kelangsungan perusahaan?

Ya, kita berusaha agar perusahaan ini berjalan seperti perusahaan umum yang profesional. Apa-apa pakai perhitungan. Tetapi apa pun usaha dijalankan, Tuhan yang menentukan. Yang penting usaha dijalankan dengan benar.

Ada planning khusus seiring alih generasi, misalnya mulai ada pembagian wewenang pada anak-anak?
Susah. Usaha di manusia. Tuhan yang menentukan. Saya sendiri kalau masih sehat, ya kerja terus. Tapi, kerjanya yang lain, bisa mikir, ngontrol. Kerja fisik sih tidak lagi.

Ada rencana melepas saham ke publik?
Sementera belum. Tidak tahu ya, tergantung perubahan yang terjadi. Apalagi dunia ini sekarang kan susah dimengerti. Ilmu-ilmu atau teori-teori yang sudah ada kok tidak bisa menjawab.

Buat Anda, kapan memutuskan untuk berhenti dan menyerahkan pada generasi, sehingga bisa menikmati hidup?
Saya cuma komisaris sekarang. Menikmati hidup itu susah. Kalau menikmati hidup itu kalau ada uang dan waktu. Gembira pada semua orang, senggang waktu, baca majalah bisa dua jam. Saya ini masih cari makan untuk hidup. Hidup untuk makan, hahaha.

Dari dulu, penampilan Anda tidak berubah, ya?
Penampilan biasa saja, sopan, pantas, tak usah gaya. Apa pakaian saya bermodel, biasa saja kan? Masa fashionable. Kalau sudah tua, pakai suspender itu enak. Tak usah kenceng, tapi tidak melorot. Bukan funky. Enak saja. Jadi, menunjang performa juga.

Apa seiring kemampuan keuangan juga?
Hahaha. Tidak ngerti. Dari dulu begitu. Saya tak merasakan kalau ini telah jadi ciri khas saya. Kalau di Solo, saya biasa tanpa dasi.

Anda juga tampak tetap sehat. Apa karena punya usaha di produk kesehatan terus harus merasa sehat?
Oh, tidak bisa. Untung saja, Tuhan mengaruniai kesehatan yang baik. Orang Solo juga banyak yang sakit jantung atau mati muda. Mungkin karena sejak lama saya makan tepat waktu, atau tidur pagi-pagi.

Kesehatan, tidak ada keluhan?
Tidak ada. Baik semua. Saya check up rutin enam bulan sekali.

Soal makanan bagaimana?
Semua makanan saya masih berani makan. Cuma hati-hati. Porsinya dikurangi. Kambing masih ok, tapi dalam setahun mesti beberapa kali saja. Kambing guling, masih berani. Itu paling enak. Santan saya hindari.

Biasa konsumsi suplemen?
Ada. Multivitamin dan mineral. Tiap hari saya minum Evervineral, atau Josscool. Khasiatnya bagus buat kesehatan.

Ritme kerja seperti apa?
Dikurangi. Siang mesti tidur. Olahraga gerak badan, atau alan-jalan di pagi dan sore.

Ada hari tertentu kumpul bersama keluarga?
Jarang, sudah nyebar di mana-mana. Jakarta, Surabaya. Paling ulang tahun atau akhir tahun. Dulu saya yang berkunjung, terutama akhir tahun. Tapi sekarang istri kurang fit untuk keluar kota, apalagi ke luar negeri.

Masih mengamati konstalasi Indonesia?
Oh ya, masih. Baca surat kabar, majalah, nonton tv.

Kalau senggang, apa saja kegiatannya?
Nonton tv, mendengarkan lagu atau musik yang kuno-kuno, seperti lagu nostalgia. Sering juga memutar kembali film lama, seperti Casablanca (film terbaik yang meraih Oscar, pada tahun 1963, red.). Hahaha.

Tidak ada komentar: