Untungnya, sebagian besar sependapat dan mendukung serta berharap dapat membantu “meluruskan” kebijakan dan pandangan Gubernur Ali Sadikin tentang agama dan masyarakat agama, karena mereka menganggap Gubernur Ali Sadikin suka melontarkan pandangan-pandangan kontroversial yang bersinggungan dengan agama, khususnya masalah pemanfaatan lokalisasi judi. Terhitung sejak 1 Januari 1970, Fatwa pun berdinas di Balai
Masyarakat Islam di Jakarta banyak yang menentang program lokalisasi judi, termasuk tokoh senior Moh. Natsir, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan mantan Perdana Menteri. Seperti diketahui dalam berbagai pernyataan kontroversial Gubernur Ali Sadikin, waktu itu terkenal ucapan kerasnya, “Kalau Pak Natsir keluar rumah pakai Helikopter saja, karena jalan raya di
Tentu saja ucapan itu menimbulkan reaksi keras pada masyarakat luas. Komentar Bang Ali dan reaksi keras para tokoh ini membuat Fatwa harus berpikir dan bekerja keras untuk mencari cara atau pendekatan agar tercipta suasana harmonis, sehingga lebih kondusif bagi Gubernur untuk melaksanakan gagasan-gagasan besarnya dalam membangun Ibukota Jakarta. Berbagai penugasan kepada Fatwa semuanya memang berkaitan langsung dengan masyarakat luas.
Ketika Direktorat Khusus Pemda DKI terbentuk pada tahun 1971, Fatwa ditugaskan untuk memimpin Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat dengan berbagai programnya. Setahun berselang, ketika DKI Jakarta mendapat giliran sebagai tuan rumah pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional ke V, Fatwa ditunjuk menjadi Sekjen dalam Panitia Nasional. Latar belakang pengalaman berorganisasi dan bermasyarakat memudahkan baginya dalam mendampingi Ketua Umum Panitia Kolonel HA.Ruchiyat mengelola event nasional ini sehingga dapat berlangsung dengan sukses. Pesta besar umat Islam di Ibukota ini membawa citra positif tersendiri bagi Pemda DKI di bawah Gubernur Ali Sadikin.
Dari perannya dalam kegiatan nasional inilah Bang Ali, begitu sapaan publik terhadap Gubernur Ali Sadikin, mulai mengenal prestasinya. Secara perlahan, ia pun mendapat kepercayaan dari Bang Ali. Ketika gubernur harus berada beberapa bulan di Netherlands, mendampingi istrinya yang sedang sakit, Fatwa yang termasuk rajin mengirim laporan kegiatan ke Netherlands yang selalu ditanggapi dengan disposisi-disposisinya yang memberikan arah, dorongan, dan semangat.
Suatu hari, Bang Ali sedang marah, sehingga tidak seorang pun berani masuk ke ruang kerjanya. Padahal ada beberapa surat yang harus ditandatanganinya termasuk untuk keperluan acara malam hari itu. Daripada rusak acara dan Gubernur sendiri akan turut malu, Fatwa memberanikan diri ke kamarnya. Ia pun dibentuknya, “Apa kamu?” sambil meninju lengan Fatwa. Ia kemudian didorong keluar pintu, sembari meraih map di tangan Fatwa. Bang Ali lalu menandatangani surat-surat tersebut dipunggung Fatwa dan kemudian keluar meninggalkan kantor dalam keadaan masih marah.
Selesai pelaksanaan MTQ Nasional ke V di Jakarta, Fatwa mengajukan dua gagasan kepada Bang Ali. Pertama, pelembagaan kegiatan MTQ melalui Surat Keputusan Gubernur tentang pembentukan lembaga MTQ tingkat DKI Jakarta yang mendapatkan anggaran dari APBD. Dan inilah sejarah awal pelembagaan MTQ setelah melalui perjuangan sengit dari MTQ Nasional ke MTQ Nasional. Barulah pada MTQ Nasional tahun 1976 di Samarinda, gagasan pelembagaan yang berasal dari DKI Jakarta, ini dapat diterima secara nasional.
Gagasan kedua, yaitu segera diwujudkan pendirian Pondok Karya Pembangunan (PKP) di Jakarta. Berdasarkan rekomendasi dari musyawarah ketua-ketua kontingen MTQ Nasional ke V di Jakarta, pada setiap penyelenggaraan MTQ Nasional harus ditindaklanjuti berupa proyek monumental. Konsep dasar dari PKP ini berasal dari Letjen H. Sudirman yang diolah di Yayasan PTDI. Alhamdulillah wujud dari PKP yang cukup megah sekarang ini tetap eksis dan berkembang pesat diatas lokasi tanah seluas 18 ha di Cibubur, Jakarta Timur.
Fatwa pula yang menjadi salah satu sosok di balik gagasan Bang Ali soal terbentuknya Kafilah-Kafilah haji termasuk Kelompok-Kelompok Terbang (Kloter), yang kemudian direkomendasikan ke Departemen Agama. Sedangkan untuk DKI sendiri Gubernur Ali Sadikin langsung mengeluarkan Surat Keputusan bahwa setiap tahun mulai musim haji 1975 membentuk Kafilah Haji DKI yang dipimpin seorang pejabat senior dengan biaya pengorganisasiannya dari APBD tanpa mengganggu biaya ONH.
Untuk tindak lanjut pertemuannya dengan Pak Natsir di Makkah, Bang Ali menugaskan Fatwa untuk melakukan kontak-kontak dengan berbagai kalangan agama, khususnya ulama-ulama dan tokoh Islam. Sebab menurutnya, apabila hubungan kita baik dengan kalangan agama di DKI,maka semua problem kemasyarakatan akan mudah diselesaikan.
Fatwa pun melakukan kontak-kontak khusus dengan KH Abdullah Syafiie, Pemimpin Pesantren Assyafiiyah yang dikenal beraliran Masyumi, serta KH Thohir Rahily Pemimpin Pesantren Attahiriyah yang dikenal dekat dengan NU. Kedua Pesantren ini mendapatkan perhatian khusus dari Bang Ali untuk pengembangan bangunan fisiknya terutama pembangunan awal komplek Pesantren dan Universitas Assyafiiyah di Jatiwaringin, Bekasi.
Terkait dengan hal ini, kalangan Muhammadiyah sempat mengeritiknya, mengapa seorang kader Muhammadiyah lebih mendekatkan Gubernur Ali Sadikin dengan ulama-ulama tradisional. Fatwa menjawab bahwa dengan kalangan Muhammadiyah atau kalangan modernis praktis tidak ada problem kemasyarakatan dengan kebijakan Gubernur Ali Sadikin, sehingga harus lebih diprioritaskan pendekatan dengan ulama-ulama kalangan tradisional.
Fatwa pun menciptakan forum-forum seminar dan dialog dengan masyarakat agama dari kalangan akar rumput, dan Bang Ali dengan sendirinya harus tampil berpidato dan membuka pertemuan-pertemuan keagamaan itu, sehingga lama kelamaan dia menjadi akrab. Pertemuan-pertemuan semacam ini tidak sulit menyelenggarakannya karena posisi Fatwa sebagai Ketua Umum Koordinator Da’wah Islam (KODI), suatu organisasi semi official yang disubsidi oleh Pemda DKI yang dulu dirintis berdirinya oleh HM CH Ibrahim, anggota Dewan Pemerintah Daerah DKI, dan tokoh PSII.
Ketika pembentukan Majelis Ulama DKI pun segera direalisasikan satu tahun mendahului berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa menjadi Sekretaris Majelis Ulama DKI. Jabatannya ini memudahkan Fatwa untuk menjalin hubungan Bang Ali dengan kalangan ulama melalui MUI DKI yang terdiri dari ulama-ulama dari berbagai aliran dan kelompok.
Berkaitan dengan jabatan strukturalnya di Direktorat Politik dan berbagai jabatan ekstra struktural yang banyak berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik, Gubernur Ali Sadikin membuat semacam ruang lingkup penugasan kepada Fatwa. Ia lebih dahulu memberi tahu Kepala Direktorat Politik Kolonel Wiryadi dan Kepala Kanwil Depag DKI RHO Hudaya tentang penugasan khusus dirinya sebagai Staf Pribadi Gubernur di bawah supervisi Wardiman Djojonegoro. Melihat penampilan Fatwa yang dianggapnya canggih memainkan peran, Utomo Dananjaya, teman Fatwa, sambil bergurau dengan nada mengejek menyebut Fatwa sebagai “Snouck Hurgronye”-nya Gubernur Ali Sadikin.
Sistem politik yang berlaku pada masa itu di mana Presiden, Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati. dan Walikota semuanya berfungsi sebagai Pembina Politik, baik secara nasional maupun lokal. Secara khusus pula para pejabat tersebut resmi dalam struktur Golkar menjabat sebagai Pembina Golkar menurut tingkatan pemerintahan. Meskipun Gubernur Ali Sadikin sebagai Pembina Golkar, tetapi dalam kebijakan umumnya memperlakukan sama terhadap dua parpol lainnya yaitu PPP dan PDI. Kebetulan pada Pemilu 1977, PPP menang cukup signifikan diwilayah pemilihan DKI. Gubernur Ali Sadikin secara politis memikul tanggung jawab atas kekalahan Golkar di DKI, karena itu Kolonel Wiryadi Kepala Direktorat Politik DKI yang ditugaskan dari Kodam Jaya langsung ditarik oleh Panglima Kodam Jaya. Gubernur Ali Sadikin pun tersinggung karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai Kepala Daerah.
Berbagai macam kegiatan sejak beberapa tahun sebelum pemilu di mana Fatwa sebagai proyek officernya, Gubernur Ali Sadikin selalu tampil bicara di forum-forum tersebut sehingga menimbulkan kecurigaan dari Mendagri Amirmachmud dan Kodam Jaya, bahwa kegiatan-kegiatan yang bernuansa syiar agama tersebut secara politis dianggap menguntungkan bagi PPP. Karena itu, berkali-kali Laksus Kopkamtibda Jaya baik dengan surat maupun melalui Wagub Mayjen Urip Widodo meminta kepada Gubernur Ali Sadikin agar memberhentikan atau membebaskan Fatwa dari tugas-tugas tersebut. Namun Gubernur Ali Sadikin tidak menggubrisnya.
Namun, Fatwa tahu diri. Karena merasa terlalu merepotkan atasan dan tidak ingin mengganggu hubungan Gubernur Ali Sadikin dengan Pemerintah Pusat, maka ia pun mengajukan permohonan berhenti. Pak Ali Sadikin menjawab, “Kalau saya memenuhi permintaanmu untuk berhenti, berarti kamu salah, padahal kamu tidak salah”.
Dalam rangkaian acara HUT kota Jakarta yang ke 450 pada 22 Juni 1977, Fatwa menggagas suatu acara “Senam Massal dan Demonstrasi Manasik Haji”, yang diikuti siswa-siswi Madrasah dengan pakaian Ihram mengelilingi miniatur Ka’bah besar di tengah-tengah Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Namun, beberapa hari sebelum acara dilaksanakan timbul reaksi dari Mendagri Amirmachmud yang melalui juru bicaranya Feizal Tamin minta agar acara tersebut dibatalkan. Demikian halnya desakan dari Panglima Kodam Jaya melalui Assintel Kolonel Eddie Nalapraya serta beberapa pejabat yang dipimpin oleh Wagub Mayjen Urip Widodo meminta Gubernur Ali Sadikin membatalkan acara tersebut.
Gubernur Ali Sadikin mengalah. Ia memanggil Fatwa untuk membatalkan acara tersebut. Tentu saja perintah tersebut ia patuhi sekaligus mengambil sikap mengajukan permohonan berhenti dari semua jabatan di Pemda DKI sebagai pertanggungjawaban moril atas sesuatu rencana besar yang sudah disepakati bersama, telah diputuskan oleh Gubernur, dan diumumkan serta mendapatkan dukungan masyarakat luas, lalu tiba-tiba dibatalkan hanya karena kecurigaan politik.
Tiga hari Gubernur Ali Sadikin mendiamkan surat permintaan berhenti yang ditulis Fatwa. Untuk meminta pertimbangan, Gubernur mengundang Ketua Umum MUI DKI KH Abdullah Syafiie dan merundingkan bersama dengan Kepala Direktorat Politik Kolonel Wiryadi, lalu diputuskan untuk meneruskan kembali acara tersebut. Acara yang berlangsung tertib dan meriah itu yang disiarkan oleh TVRI, memang menggemparkan. Pada satu sisi dianggap sebagai terobosan yang berani, pada sisi lain dianggap sebagai “kebablasan”. Bahkan ada yang terang-terangan menuduh acara itu sebagai selamatan atas kemenangan PPP pada pemilu yang berlangsung dua bulan sebelumnya.
Sekitar seminggu sebelum Pak Ali Sadikin berhenti sebagai Gubernur, dia memanggil Fatwa. “Sebentar lagi saya akan pergi dari sini dan kamu akan mengalami kesulitan,” katanya kepada Fatwa. Fatwa pun menjawab, “Tidak apa-apa Pak, itu risiko jabatan.” Dan, ternyata memang benar, Wardiman Djojonegoro sebagai Koordiantor Staf Pribadi Gubernur Ali Sadikin yang untuk sementara masih meneruskan posisinya di bawah Gubernur Tjokropranolo sering mendapatkan ancaman teror.
Berikutnya, Fatwa pun ditahan oleh Laksusda Jaya selama sembilan bulan dan setelah bebas diberhentikan dari semua jabatan lalu disuruh mengajukan permohonan berhenti dari PNS dengan cacatan apabila tidak mengajukan permohonan berhenti akan dipecat. Fatwa memilih diam. Soedjono Hoemardhani, Aspri Presiden Soeharto sampai turun tangan, yaitu melalui beberapa orang tua yang dianggapnya disegani Fatwa untuk menasehatinya agar ia bersedia patuh untuk tetap kembali menjadi pegawai negeri. Namun, Fatwa mendiamkan hal tersebut.
Akhirnya, betul-betul turunlah Surat Keputusan Mendagri Amirmachmud memberhentikan Fatwa dengan tidak hormat dari jabatan sebagai pegawai negeri. Kemudian, 20 tahun berikutnya, ketika era reformasi bergulir, Mendagri Syarwan Hamid merehabilitasi pemecatan Fatwa tersebut dengan hak pensiun. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar