Jumat, Agustus 22, 2008

Merajut Jati Diri Bangsa Melalui Budaya dan Pariwisata

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak hanya menghargai jasa-jasa para pahlawan, tapi juga bangga terhadap bangsanya sendiri. Hal ini pula yang menjadi visi Departemen Kebudayaan dan Pariwasata (Depbudpar) di bawah kepemimpinan Jero Wacik. Menanamkan kebanggaan terhadap bangsa menjadi landasan setiap kebijakan pemerintah di bidang budaya dan pariwisata.

Dua sektor ini merupakan penggerak utama pembangunan nasional. Dalam program selanjutnya, pembangunan kebudayaan dan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, mandiri, serta memiliki kualitas sumber daya alam maupun manusia yang berdaya saing.

Kebudayaan berurusan dengan identitas dan jati diri bangsa, sedangkan pariwisata menawarkan berbagai potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsa. Di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang kini kembali berbentuk departemen, dua kekuatan ini bersinergi dan menjadi fondasi penting bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam upayanya menggerakkan mesin industri jasa pariwisata, Jero Wacik juga berkomitmen tidak akan mengesampingkan kebudayaan dalam program kerjanya. Dia berjanji, bahwa pariwisata dan kebudayaan akan mendapatkan perhatian yang sama. Bahkan, pemerintah meneguhkan komitmennya untuk menempatkan sektor ini pada skala prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pariwisata. Tak heran jika Jero Wacik lebih banyak mengarahkan kebijakan-kebijakannya pada sektor ini. Sebab, sektor ini dipandang memegang kunci yang strategis karena berhubungan dengan kehidupan umat manusia secara langsung.

Dalam menjalankan tugasnya, Jero Wacik menggandeng segenap komponen bangsa, terutama para budayawan dan pelaku pariwisata yang selama ini banyak berkiprah. Dengan demikian, simbiosis mutualisme antara pariwisata dan kebudayaan diharapkan lebih sehat di masa mendatang. Pariwisata berjalan baik, kebudayaan pun berkembang dan lestari. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan diharapkan pasokan dana pada sector kebudayaan terasa lebih maksimal.

Jero Wacik mengakui, memang ada hambatan dalam pelestarian budaya. Di antaranya, masalah kependudukan atau masyarakat yang pluralis. Ia juga menekankan bahwa berpikir positif itu termasuk budaya. Karena itu, budaya berpikir positif hendaknya bisa diimplementasikan dalam segala hal. Sejalan dengan kebijakan ini, Depbudpar melaksanakan program revitalisasi industri perfilman Indonesia guna memajukan industri perfilman nasional serta menjadikannya sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Setelah mati suri selama 12 tahun, Depbudpar menghidupkan kembali Festival Film Indonesia (FFI) sebagai sarana merangsang kreativitas insan perfilman di Tanah Air. Sutradara, produser, maupun pemain film menemukan kembali optimisme yang hilang. Biasanya hanya muncul empat film dalam setahun, kini Depbudpar mencatat sekitar 30 film yang sudah diproduksi.

Pencanangan 2005 sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya merupakan bentuk perhatian yang besar dari pemerintah terhadap sektor ini. Sambil menggalakkan pertunjukan seni dan budaya di seluruh pelosok negeri lewat program bertajuk Kemilau Nusantara, apresiasi pemerintah juga diwujudkan dengan pemberian anugerah kebudayaan terhadap karya-karya budaya yang membanggakan.

Jero Wacik berharap, kegiatan itu mampu menggairahkan seniman di daerah untuk berkreasi dan menularkan seni budaya daerah pada generasi penerus. "Indonesia selama ini di mata dunia dikenal dengan keanekaragaman khasanah budayanya. Namun karena jarang dipertunjukkan, masyarakat jadi kurang mengenal sepenuhnya kekayaan budaya tersebut," katanya. Tak hanya dipertontonkan di dalam negeri, pemerintah secara rutin menjalankan misi kebudayaan ke mancanegara.

Di sektor pariwisata, pemerintah bertekad menjaga sektor ini sebagai tambang devisa terbesar kedua setelah migas. Sebelumnya sektor ini mendulang sekitar US$ 5 miliar per tahun. Di tahun ini Depbudpar mentargetkan kunjungan wisatawan sebanyak enam juta wisatawan mancanegara dan 160 juta wisatawan nusantara, dengan perolehan devisa sekitar US$ 6 miliar.

Meski tergolong realistis, target ini bukan berarti tanpa kendala. Infrastruktur di bidang transportasi dan promosi yang minim, diakui menjadi hantu yang menakutkan. Lebih-lebih dengan terbatasnya anggaran yang dimiliki departemen ini. Walau tidak signifikan, Wacik menduga, kenaikan harga BBM dan merosotnya rupiah bisa berpengaruh terhadap “Tapi, saya yakin tahun mendatang akan lebih baik,” tuturnya. Gurat optimisme berpendaran di wajahnya.

Boks

Meretas Bali Kedua

Sebagai seorang putra Bali yang juga pengusaha yang bergerak dalam industri jasa pariwisata, komitmen Jero Wacik untuk meningkatkan kualitas industri pariwisata nasional tergolong tinggi. Menurutnya, pembenahan pariwisata Indonesia akan dimulai dari pengamanan aset-aset wisata. Pemberian rasa aman, katanya, akan merangsang orang pergi pelesiran ke pelosok Nusantara.

Dia pun memulai safari keamanan wisata dari Bali, sebagai ikon pariwisata Indonesia. Setelah Bali, safari dilanjutkan ke Yogyakarta, Sumatera Utara, Makassar (Sulawesi Selatan), serta tempat-tempat wisata lainnya. Setelah urusan keamanan, program berikutnya adalah penyiapan komponen-komponen pariwisata seperti keramah-tamahan (hospitality). Untuk menggairahkan wisatawan nusantara, dicanangkan pula program bertajuk: “Kunjungi Negerimu, Cintai Negerimu”.

Dengan slogan Indonesia, Ultimate in Diversity, Depbudpar mengoptimalkan pasar potensial yang sudah ada sambil merintis pangsa pasar baru, seperti Cina, India, dan Timur Tengah. Beriringan dengan menggencarkan promosi, Depbudpar juga terus mengembangkan destinasi pariwisata, pengembangan pemasaran, serta pengelolaan nilai maupun aset budaya. Pengembangan obyek-obyek wisata lain terus digalakkan lewat program “Bali Beyond”. “Kami akan bangun Bali yang lain,” ucap Jero Wacik.


Jero Wacik:

Merajut Kebanggaan Anak Bangsa

Sebagai putra Bali yang juga pengusaha di bidang pariwisata, sektor budaya dan pariwisata bukanlah mainan baru bagi Jero Wacik. Semenjak ditunjuk membawahi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), Jero Wacik mengubah pola kebijakannya untuk lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Di samping memberikan apresiasi yang lebih pada para budayawan, sejumlah program kebudayaan menjadi tradisi baru Depbudpar. Pertunjukan seni dan budaya marak diselenggarakan daerah secara bergantian.

Di sektor pariwisata, pemerintah menargetkan devisa sekitar US$ 6 miliar pertahun, pasokan terbesar kedua setelah migas. Obyek-obyek wisata baru terus dikembangkan sambil mengoptimalkan pendapatannya. Semua program ini terangkum dalam satu visi, merajut kebanggaan anak bangsa terhadap budaya dan keindahan alam nusantara. Berikut petikan wawancara dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik:

Apa proyeksi Anda tentang dua sektor yang Anda pimpin ini?

Keduanya sektor strategis. Sektor kebudayaan sangat strategis karena kebudayaan ini menyangkut seluruh kehidupan manusia yang pada hakekatnya akan dilingkupi oleh suatu kebudayaan. Cara makan, ada budaya makan, cara berpakaian ada budaya pakaian, cara berpikir ada budaya berpikir, cara bertindak ada budayanya juga. Semua itu kebudayaan. Termasuk juga tarian, sastra, teater, tradisional, wayang, patung, lukisan, musik, itu semua seni yang bagian dari kebudayaan. Jadi, sektor ini sangat strategis dan menyangkut seluruh kehidupan umat manusia.

Sektor kedua adalah pariwisata. Itulah sektor ekonomi dengan menggunakan daya tarik alam, tradisi, budaya kita untuk dijadikan alat penarik bagi wisatawan, baik asing maupun domestik. Wisatawan asing bisa melihat bagaimana Indonesia, apa yang ada di sini, ada daya tarik tersendiri. Wisatawan domestik juga kita dorong untuk mengunjungi tanah airnya. Karenan memang belum banyak orang Indonesia yang mengenal tanah airnya dengan baik.

Selama ini sektor kebudayaan tak dipandang secara proporsional. Ada kebijakan baru di bawah kepemimpinan Anda?

Di sektor kebudayaan, ini merupakan laporan tahunan Depbudpar pada presiden dan publik. Waktu awal saya menjabat, saya pelajari sektor ini. Paling pertama saya sentuh adalah bicara dengan para budayawan. Saya mendengar, mengajak diskusi, saya undang ke kantor, ke rumah, saya datangi tempat kerja mereka. Dari situ saya mendapat banyak gambaran, para budayawan merasa kurang diperhatikan selama ini. Kurang dukungan, sehingga merasa dianaktirikan. Sehingga di awal kepemimpinan saya, saya agak merubah pola yang ada dan lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Kebijakan-kebijakan saya arahkan pada sektor kebudayaan lebih banyak.

Apa maksud di balik pencanangan tahun ini sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya?

Ya, biar seni dan budaya lebih hidup lagi. Tahun festival seni budaya ini harus diikuti dengan menyelenggarakan event dimana-mana dengan mendorong daerah untuk menyelenggarakan festival. Sekarang ada belasan rencana penyelenggaraan festival di daerah-daerah. Ada festival Sriwijaya, Minangkabau, Melayu, Nusa Dua, pesta kesenian Bali, pesta Toraja, Festival Bengawan Solo, dan sebagainya. Ini sudah mulai hidup. Di samping itu, kami akan terus mengirimkan misi-misi kebudayaan ke luar negeri.

Dalam pertemuan antarmenteri kebudayaan se-Asia-Eropa tempo hari, ada gejala untuk menseragamkan kebudayaan dunia. Apa reaksi Anda?

Memang ada gejala seperti itu. Namun, kita dari beberapa negara tidak sepakat. Saya keras menentangnya. Culture itu keindahannya terletak justru terletak pada keanekaragamannya. Indonesia punya sekitar 300 macam kebudayaan. Etnis-etnis kita ini ratusan. Dan itu hidup semua, ini indah. Justru betapa membosankannya dunia ini kalau kita seragam. Jadi, saya tidak setuju. Indonesia tidak akan pernah setuju gagasan ini. Kita biarkan keanekaragaman ini. Kita akan melindungi bahkan akan mempromosikannya. Akhirnya, hampir semua negara setuju bahwa menjamin keanekaragaman kebudayaan harus dijaga.

Sektor pariwisata selama ini menjadi andalan. Di sektor ini, apa kendala yang selama ini Anda hadapi?

Untuk mengejar wisatawan asing maupun mancanegara, ada beberapa hambatan. Pertama visa, sekarang sudah kita terobos. Mulai Agustus lalu kita sudah bisa menggunakan visa on arrival buat Cina, India, dan Timur Tengah. Kita berikan kemudahan masuk. Kedua, penerbangan. Ini sedang kita garap. Bagaimana penerbagan dari ketiga negara ini bisa datang ke Indonesia. Ini belum sukses, sedang kita garap.

Kami dengar, salah satu kelemahannya adalah promosi. Apa betul?

Kita tak punya uang. Promosi kita lemah. Sistem sudah ada, branding sudah punya. Namun, branding kita, Ultimate in Diversity, belum beken, karena iklannya kurang. Sekarang sedang berusaha menambah biaya iklan. Hambatan lainnya, hubungan antardepartemen. Hubungan dengan departemen lain tak semudah yang dikira. Bagaimana menjamin keamanan, dan sebagainya.

Lalu, sejauh mana koordinasi dengan departemen-departemen lainnya?

Budaya dan pariwisata tidak bisa jalan bila hanya mengandalkan Depbudpar semata agar berkembang sesuai harapan masyarakat. Mesti melibatkan instansi lintas sektoral yang harus mendukungnya. Saya melihat Depbudpar akan sukses kalau bisa berhubungan atau berkoordinasi dengan 17 departemen lain. Seperti Polri, BIN, Dephub, dan departemen lainnya. Program ini menjadi program nasional. Menteri-menteri terkait harus membantu. Kita ingin menunjukkan bahwa pemerintah sangat concern pada kebudayaan dan pariwisata.

Alannys Weber, Pesona Terindah

Seperti sanca dia

rona-ronanya telah membelit

auranya telah menjerat

di relung-relung ingatan

antara panggung yang temaram

sinema beralur menantang

pun pariwara peracik citra

tak perlu merasa bersalah

kenangan, cinta, hati lara

adalah sajak-sajak kehidupan

Tetaplah geloramu meresapi

musim demi musim

****

Seperti pencumbu sejati dia

membawakan sekeranjang cinta

dan sejumput pemanis bibir

pelukis rindu di kalbu

jangan, jangan tampik rindu lelaki itu

buat ia menahan napas

dalam dekapmu yang bergemuruh

biarkan ia menari-nari

diterpa godamu

Pantik dan pantik dia

dengan tatapan pertama

yang menghunjam

****

Seperti petualang dia

berjingkat dari cita ke mimpi

diplomat, pramugari adalah antara

hingga modeling memenjarakan diri

tabir pesonanya telah bersemai

menyuburkan hati yang kerontang

maka ajari mereka

tentang larik-larik cinta terindah

agar luruh di dekapmu

****

Seperti peri blonde dia

tak ada lagi atribut pribumi

yang tersisa di raga

Begini jadinya

kala darah Belanda-Portugis

bergumul dalam tarikan napasnya

wajah indo itu kebanggaan

Tapi jangan tanya dia

soal rada cinta pada negeri

hanya itu pembelenggu

****

Seperti sang surya dia

begitulah Alannys

Alannys Weber, sejatinya

Kau cumbu mentari siang itu

menanggalkannya dari poros

lalu mematutnya di wajahmu

Mata siapa tak melotot

kalbu siapa tak terpikat

bila secawan asmara

telah melumat rasa

Cut Memey, Dara Pemuja Seni

12.31

Setelah dua puluh lima tahun

persenyawaan Aceh, Sunda

meniti panggung kehidupan

sebagai pekerja seni

Pembawa ragam lakon

penyemai aneka pesan

pemandu berbagai tontonan

walau lantunan jua

jadi pemantik riang

Bercerminlah pada waktu

tentang jatuh bangunnya kehidupan

tentang jiwa yang terhempas lara

****

12.44

Setelah sekian peran

Tak mudah berdiri tegak

menghadang derasnya praduga

yang mengalir tiada kira

tentang perempuan penggoda

Tak gampang tersenyum ikhlas

pada kelamnya wasangka

yang tergaris rapat

tentang pemuja kegemerlapan

Bak kanvas monalisa

beragam stigma

sejuta prakira

Bisamu hanya bernaung

di bawahnya yang bisu

****

13.01

Setelah sekian musim gugur

hujanan kata jatuh

wajah-wajah ceria luruh

dari dara perajuk

pemilik asma Cut Memey

Petiklah gitarmu

hangatkan harimu

dengan nyanyian musim semi

yang menyemai keriaan

Usah meragu dengan keceriwisan

dan perangai memabukkan

Adakah yang lebih pahit

dari kehilangan karib

***

13.36

Setelah windu demi windu luruh

Sang bocah menjelma perawan ranum

Adakah dahan tempatnya bercengkerama

membagi hati

Adakah burung-burung

berkicau merdu sediakala

di cawan jiwanya yang lapang

Bukan semata berbekal materi

Wajah merona

pun lusinan cinta semerbak mewangi

Berbagilah, duhai Memey

pada pemilik jiwa yang dewasa

selaksa perhatian

pembagi kasih dan kesetiaan

****

13.51

Setelah dua puluh lima tahun

Masihkah puncak bukit itu menunggu

Seperti seni yang menghunjam hati

Langkahmu belum terhenti

Pengabdianmu tak berakhir jua

di gemerlap panggung

dan semerbak tontonan

Kala berlari mentari

Memburu tepi bumi

Hanya harum suaramu

hanya wangi tubuhmu

tersisa

di sini

Menbudpar Jero Wacik, Tak Bisa Jalan Sendiri

Sejak ditunjuk menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik melakukan reorientasi dengan lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih banyak terarah di sektor budaya, dibanding sektor pariwisata. Di samping memberikan apresiasi yang lebih pada para budayawan, sejumlah program kebudayaan menjadi tradisi baru Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Pertunjukan seni dan budaya, misalnya, marak diselenggarakan daerah secara bergantian.

Meski demikian, pemerintah juga mengembangkan obyek-obyek wisata baru sambil mengoptimalkan pendapatannya. Semua program ini terangkum dalam satu visi, merajut kebanggaan anak bangsa terhadap budaya dan keindahan alam nusantara. Berikut petikan wawancara dengan Qusyaini Hasan dari MO:

Industri perfilman nasional mulai berdenyut kembali. Ada kebijakan khusus di bidang ini?

Film merupakah salah satu elemen kebudayaan yang penting. Saya sentuh dengan mengadakan FFI, dua bulan sejak saya dilantik. Sejak itu, atmosfernya langsung berubah. Mereka merasakan adanya optimisme baru dalam pemerintahan ini. Ya, ini merupakan bukti bahwa pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap kebudayaan. Saya akan terus mendorong perfilman nasional.

Apakah Anda menjamin kebebasan berkreasi terus berlangsung?

Sekarang kan tak boleh melarang-larang. Mereka yang berkreasi, pemerintah hanya mengakomodasi. Kalau mereka ada yang kesulitan dana, kita bantu pendanaan sedikit. Mereka ingin menyelenggarakan pertunjukan musik, dalam atau luar negeri, kita bantu sebagian dari anggaran yang kita punya, walaupun masih terbatas. Saya minta televisi juga membuat acara kebudayaan, walaupun tidak dibayar. Dengan imbauan ini, hasilnya cukup besar. Banyak televisi yang menyiarkan acara kebudayaan atau pariwisata tanpa saya bayar.

Apa jaminan kebudayaan kita akan terus berkembang?

Waktu saya mengikuti pertemuan antarmenteri kebudayaan sedunia, saya katakan, Indonesia menggaransi bahwa budaya Indonesia akan terus berkembang. Asumsinya adalah, di mana ada kultur yang dilandasi oleh religius, maka kultur itu akan sulit dihapus. Contoh, Tari Saman dari Aceh, kalimat-kalimatnya kan dari Alquran. Di Bali, tarian itu sudah menyatu menjadi alat persembahan. Kalau upacara di pura tidak ada tarian ini itu, jadi tidak sah. Jadi, kalau tarian-tarian itu didasari oleh nilai agama, maka tak bisa hilang. Jadi, tarian sudah menjadi perlengkapan. Sepanjang itu masih ada, berhubungan dengan kepercayaan, maka kultur itu tidak akan hilang.

Kalau kebudayaan diasumsikan bisa berkembang secara alami, lalu di mana peran pemerintah?

Untuk itu, pemerintah memberikan fasilitas. Pelestari-pelestari budaya, anak-anak, didorong. Jaminan lestarinya kesenian karena adanya bapak-bapak dan ibu-ibu, para pelestari seni. Banyak orang tua yang gigih memperjuangkan kesenian. Tugas pemerintah adalah membawa, mendorong, dan memfasilitasi mereka ke ke panggung atau forum terhormat. Indonesia selama ini di mata dunia dikenal dengan keanekaragaman khasanah budayanya. Namun karena jarang dipertunjukkan, masyarakat jadi kurang mengenal sepenuhnya kekayaan budaya tersebut.

Atas dasar itukah tahun ini dicanangkan sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya?

Ya, biar seni dan budaya lebih hidup lagi. Tahun festival seni budaya ini harus diikuti dengan menyelenggarakan event dimana-mana dengan mendorong daerah untuk menyelenggarakan festival. Sekarang ada belasan rencana penyelenggaraan festival di daerah-daerah. Ada festival Sriwijaya, Minangkabau, Melayu, Nusa Dua, pesta kesenian Bali, pesta Toraja, Festival Bengawan Solo, dan sebagainya. Ini sudah mulai hidup.

Bagaimana dengan pengiriman misi-misi budaya ke luar negeri?

Kami akan terus mengirimkan misi-misi kebudayaan ke luar negeri. Ini yang kita dorong, dengan mengirimkan delegasi. Ada misi kesenian, musik ke Eropa, Jepang, Yunani, Spanyol. Ini untuk mengangkat seni budaya kita di luar negeri. Akhirnya seni dan budaya ini membuat kita bangga di dunia internasional.

Dalam pertemuan antarmenteri kebudayaan se-Asia-Eropa tempo hari, ada gejala untuk menseragamkan kebudayaan dunia. Apa reaksi Anda?

Memang ada gejala seperti itu. Namun, kita dari beberapa negara tidak sepakat. Saya keras menentangnya. Culture itu keindahannya terletak justru terletak pada keanekaragamannya. Kami di Indonesia punya sekitar 300 macam kebudayaan. Etnis-etnis kita ini ratusan. Dan itu hidup semua, ini indah. Justru betapa membosankannya dunia ini kalau kita seragam.

Dunia ini indah karena berwarna-warni dan beraneka ragam. Jadi, saya tidak setuju. Indonesia tidak akan pernah setuju gagasan ini. Saya akan pasang badan. Kita biarkan keanekaragaman ini. Kita akan melindungi bahkan akan mempromosikannya. Akhirnya, hampir semua negara setuju bahwa menjamin keanekaragaman kebudayaan harus dijaga.

Di sektor pariwisata, apa kendala yang Anda hadapi?

Untuk mengejar wisatawan asing maupun mancanegara, ada beberapa hambatan. Pertama visa, sekarang sudah kita terobos. Mulai 1 Agustus 2005 kita sudah bisa menggunakan visa on arrival buat Cina, India, dan Timur Tengah. Kita berikan kemudahan masuk. Kedua, penerbangan. Ini sedang kita garap. Bagaimana penerbangan dari ketiga negara ini bisa datang ke Indonesia. Ini belum sukses, sedang kita garap.

Bagaimana dengan pengembangan promosi maupun pemasaran?

Kita tak punya uang. Promosi kita lemah. Sistem sudah ada, branding sudah punya. Namun, branding kita, Ultimate in Diversity, belum beken, karena iklannya kurang. Sekarang sedang berusaha menambah biaya iklan. Hambatan lainnya, hubungan antardepartemen. Hubungan dengan departemen lain tak semudah yang dikira. Bagaimana menjamin keamanan, dan sebagainya.

Anda ingin mengatakan, Depbudpar tak bisa bergerak sendirian?

Agar berkembang sesuai harapan masyarakat, budaya dan pariwisata tidak bisa jalan bila hanya mengandalkan Depbudpar semata. Mesti melibatkan instansi lintas sektoral yang harus mendukungnya. Saya melihat Depbudpar akan sukses kalau bisa berhubungan atau berkoordinasi dengan 17 departemen lain. Seperti Polri, BIN, Dephub, dan departemen lainnya. Program ini menjadi program nasional. Menteri-menteri terkait harus membantu. Kita ingin menunjukkan bahwa pemerintah sangat concern pada kebudayaan dan pariwisata.*

Martha Suherman, Young & Mature Lady

Dalam dunia industri yang penuh seteru, kau tunjukkan diri sebagai pelaju. Pelaju sejati di ranah industri. Tak ada lagi waktu selain bermimpi dan meraciknya hingga mewujud nyata. Kabarkan pada semua, apakah gerangan yang telah membuatmu terus meregang, dengan gairah dan optimisme yang berapi-api?

Wild Child

Terlahir dengan shio monyet, beginilah jadinya dirimu. Memanjat pepohonan menjadi kegemaran yang memercikkan riang di hati. Kau pilih binatang piaraan sebagai karib daripada boneka imut seperti bocah seumuranmu. Anak ayam atau anjing kesayangan, menjadi teman menghabiskan waktu di hari-hari beliamu. Tak mengherankan jika akhirnya karakter tomboy begitu melekat daripada kesan feminis di dirimu. “Aku juga lebih sering bermain dengan kakak lelaki di rumah,” tuturmu tersipu. Perangaimu pun menampakkan seorang pendiam, namun pemberani juga nekat.

Wajahmu bersemu merah tatkala kukuakkan setangkup memori di bangku sekolah. Kau pun tersenyum geli saat dipanggil guru BP karena kedapatan bersitegang dengan perempuan kakak kelasmu selepas upacara bendera. “Dia menjambak rambutku. Upacara bubar, kujambak juga dia,” kilahmu, cepat. Gelakmu pun memecah.

Impian menjadi pendidik sempat melintas perigi benakmu. Tapi, cita itu sirna juga ditelan waktu. Tak suka anak kecil, begitu dalihmu sebelum akhirnya meneruskan kegemaran lama, menggambar. Apalagi bila melihat perkembangan anak di zaman internet begini, “Tak mungkin rasanya aku mengajari mereka,” ucapmu, selirih bayu.

Artistic Madness

Naluri seorang seniman mulai bermekaran di bilik-bilik hati. Kutahu, itu adalah titisan dari sang buyut yang memang seorang seniman berdarah asli Tiongkok, nun jauh di seberang. Lantas, kau pun melaju di jalan untuk menjadi seorang desain artistik sejati.

Malang melintang berkarier di perusahaan orang, hasratmu berkelana berlabuh juga di bisnis milik keluarga. Dari pekerja menjadi pemilik, dari pelakon seni menjadi penggerak industri, tentu sempat menempatkanmu dalam posisi transisi yang memeras daya pikir, kekuatan imaji. “Adaptasinya lama juga,” ujarmu, pelan.

Setiap waktu dan ruang yang kau miliki selalu dijejali dengan urusan kerja. Bahkan di rumah atau di saat berlibur sekalipun, suara tempaan sang aya atau bunyi keluhan di pesawat telepon kerap berdendangan di indera pendengaranmu. “Kalau kerja sama orang tua, bete-nya kadang juga dibawa ke rumah,” akumu tanpa tedeng aling-aling.

Keteguhan diri untuk menyatakan tiada henti dalam belajar jualah yang membuat kau mulai menikmati profesi barumu. Semester lewat kau tersadar, industri yang kau geluti juga mensyaratkan jiwa-jiwa yang menyanjung seni. Seperti yang kau akui sendiri, produk-produknya juga mengaplikasikan seni tersendiri. Inspirasimu soal tren pewarnaan mengalir sedia kala.

Independent Girl

Bagi sebagian kaummu, apalah guna kerja keras jika kemapanan secara ekonomi telah menenangkan batin. Tak ada waktu yang tepat dan berharga selain mengumbar keriaan sembari memamerkan kejayaan. Macam-macam sarananya, di club, kafe, atau diskotek. Seperti laiknya anak muda sebayamu kini.

Tapi, kau yakinkan aku bahwa itu semua bukan bagian dari dirimu. Dari belia pun kau telah belajar banyak soal kemandirian, walaupun kau hidup di tengah gelimang ekonomi lebih dari cukup. Seperti halnya diriku, bukankah tak setiap pintamu dituruti orang tua?

Karenanya, sambil kuliah kau telah mencium aroma keringatmu sendiri, aroma kesenangan yang kau dapatkan sendiri. Kau pun belajar menghadapi persoalan hidup seusiamu dan memecahkannya sendiri. Bahkan, kau pun mulai menyimpan rahasia sendiri. “Memang ada jatah uang jajan, tapi kalau mau lebih, ya, cari sendiri,” ucapmu soal didikan orang tua.

Sebagai puteri satu-satunya, kupahami bila kau digadang-gadang sebagai ratu bisnis keluarga selanjutnya. Dari sang bapak, kau pun belajar banyak soal profesionalisme, tentang bagaimana melanjutkan kejayaan dan mempertaruhkan nama baik keluarga. Hal terpenting yang kau pegang erat, positive thinking, walau seburuk apapun keadaan.

Young Leader

Mengomandani puluhan jajaran pemasar, kau bergerak ritmis. Seperti usiamu yang penuh dinamika. Adakalanya jiwa mudamu mendominasi, tak jarang juga aura ketegasan seorang pemimpin menyemburat. Jika kau tengah bersidepan dengan bawahan melampaui usiamu, wibawamu memancar. “Tapi, kalau di depan sebaya, ngomongnya bisa lu-gua,” katamu dengan selarik senyum tipis itu.

Tidakkah posisi ini membuatmu dewasa sebelum waktunya? Kau mengangguk pelan, pertanda setuju. Walaupun kau tak merasa masa mudamu terbawa pergi percuma. Sebelum terkekeh sendiri, kau bercerita, “Kalau ngobrol dengan teman main suka enggak nyambung. Satu bicara atasannya di kantor, aku malah cerita tentang bawahan.”

Kau pun bertutur soal sikap sekian orang yang meremehkanmu kala didaulat sebagai pemimpin baru di biduk usaha itu. Menjadi generasi penerus perusahaan keluarga kadang tak mengenakkan bagimu. Bukankah kau sering menjadi obyek, menjadi sorotan mata jalang penuh selidik? Pikiranmu acapkali dipenuhi dengan apa dampak yang kau atau orang tua derita bila setitik nila kau cipratkan di belanga.

Dari luar, menjadi pewaris kerajaan bisnis memang melenakan. Tapi, kau pastikan tak akan terbuai oleh gelar atau status. “Aku tak mau mentang-mentang kerja di perusahaan keluarga terus berbuat seenaknya,” ucapmu seperti ingin menyadarkan. Seperti yang kau sadari pula, semua memang ada bersama pasangan masing-masing. Ada tantangan dan peluangnya. Ada problem berikut pemecahannya. Di perusahaan keluarga yang kau bidani sekarang, pun ada dinamikanya. Begitulah memang hukumnya.

Enjoyable Journey

Menjaga keseimbangan antara padatnya pekerjaan di kantor dengan menciptakan suasana santai di rumah, membantu menjadikan hidupmu lebih teratur dan menyenangkan. Banyak belajar cara merawat rumah dari Sang Bunda membuat naluri keibuanmu ada. Tapi, jangan tanya perihal rutinitas puan Hawa yang gemar menghabiskan waktu di meja rias atau bermanja di salon. Ehm, kau bukan tipikal seperti itu, rupanya.

Seperti kepribadianmu yang terkesan simpel, cuek, dan tak mau ribet. Tak seperti perempuan kebanyakan, jarang terlihat peralatan kosmetik di tas. Tak ada bedak, juga lipstik. Setelah kutelisik, “Aku kalau dandan pagi bisa sampai malam. Tak diotak-atik lagi,” tuturmu, tanpa beban.

Kau bertutur soal driving range sebagai wahana pelampiasan amarah dan ketertekanan. Dengan mengayun-ayunkan stik dan memukul golf sebanyak-banyaknya, pikiran baru dan segar seketika kau rasakan. Jika ada aral, mencari suasana yang lebih santai, seperti ke kafe sambil berwisata kuliner, atau melahap Japanese Food kesukaanmu, menjadi kebiasaan di kala senggangmu.

Dengan musik easy listening yang membuai, kau rasakan sebuah hidup yang baru. Kau pun berpantang dating ke klub. “Aku paling enggak bisa di ruangan yang crowded. Gimana bisa bersantai?” dalihmu. Menonton film komedi, drama, dan animasi Jepang, pun menjadi agenda lain di akhir pekanmu.

Great Expectation

Seperti prinsipmu yang tak pernah mengenal kata akhir dalam belajar, begitu jua dalam merenda karier dan masa depan. Kendati kau mengaku bukan orang yang muluk dalam berangan, membesarkan usaha keluarga atau meretas firma sendiri, adalah mimpi pribadi yang menggelayuti hari-harimu.

Dalam berkarya ataupun berkarier, prinsipmu begitu tegasnya. Kemahiran dalam membina rumah tangga menjadi ukuran sukses seseorang dalam mengelola usaha. Bagimu, jika keluarga terkendali dengan harmonis, perusahaan juga bisa terkelola dengan apik. “Kalau saya punya keluarga berantakan, susah bagi perusahaan menjadi bagus nanti,” tuturmu, mantap. Ya, semua memang mesti berjalan seimbang, Martha.

Yang terpenting bagimu saat ini adalah menjalani apa yang ada di hadapanmu. Berharap memiliki kerajaan bisnis hasil jerih payah sendiri bisa saja kau lakukan mulai hari ini. Tapi, pengabdian seorang anak pada keluarga dan orang tua, tampaknya melumerkan hasrat pribadimu, untuk sementara waktu.

Layaknya wanita karier yang memburu prestasi dan prestise, kau teguhkan aku bahwa kau tak akan menyerah pada usia, atau bahkan pada kehidupan sekalipun. “Kalau tiba-tiba merasa puas dan pensiun total, sepertinya tak mungkin. Saya bukan tipe itu,” ucapmu dengan garis bibir tertarik dan senyum mengembang. Ya, seperti orang yang terbiasa dengan kesibukan dan rutinitas, memilih berdiam di rumah kerap mendatang petaka tersendiri.

Penutup:

Dalam dunia usaha yang penuh seteru, kau teguhkan hati untuk terus mengejar mimpi. Seperti tak ada lagi penat, kau berpacu dengan waktu, mengukir diri dalam kanvas kehidupan. Benar katamu, tak ada kata akhir selagi sang pemilik hidup masih rela membagi kasih-Nya.

MARTHAGRAFI

Nama Lengkap Martha Suherman Lahir Bogor, 9 Maret 1980 Tinggi/berat 170 cm/63 kg Pendidikan Desain Komunikasi Visual, Universitas Trisakti, Jakarta Pekerjaan Direktur Marketing PT Murni Cahaya Pratama (produsen Cargloss) Hobi Golf, art, film, Filosofi Hidup Never Stop Learning Penghargaan The 2nd Best Graduated Trisakti (1998)

Lula Kamal, Undefined Beauty

Serupa sayap elang, segala sisi kehidupan kau pijak. Tak ada kata diam dalam kamusmu. Cakarmu mencengkeram erat. Sayapmu terus mengepak mencari dahan baru tempat berlabuh. Warna-warni kehidupan menjadikanmu tegar di segala ranah, segala musim. Inilah jadinya bila kekuatan jiwa dan keuletan raga berpadu dalam deru napasmu. Semakin kutelusuri, aura kecantikanmu kian menguasai. Hingga tak terperikan lagi.


Unforgettable Moment

Lula Kamal. Entah mengapa kau dipanggil begitu, seperti tertoreh di akta lahirmu yang kini tersimpan rapi di brankas dengan selaksa kombinasi. Terlahir dari harmoni Arab, Sunda, Cina, Betawi, tiga senyawa ini melahirkan guratan wajah bernuansa Timur Tengah yang khas dan berkarakter.

Di luar itu semua, permainan masa kecil dan tempaan keras orang tua menjadikanmu tumbuh dengan karakter yang kuat. Daya juang dan semangat hidupmu bergelora sedari dini. Pantang menyerah, walau sang hidup mengayun-ayun. Pendidikan agama, kebebasan menikmati masa kanak-kanak, dan penghargaan atas ilmu pengetahuan, membuat masa lalumu begitu bermakna.

Aku mengerti bila akhirnya naluri kelelakian, tomboy, dan cenderung ceriwis itu, melumerkan feminisme dan kelembutan layaknya kaummu. Kau bertutur tentang masa lalu yang memang ditempa tak seperti perempuan kebanyakan. Ah, Lula, ingin rasanya aku mengulang kehidupan ini dan menjelma menjadi teman sepermainanmu. Bermain bersama sepanjang hari. Ya, seperti hari-harimu yang telah lalu.

Permainan layang-layang, memanjat pohon adalah penggalan masa kanak-kanak yang terlalu indah bagimu untuk dilupakan. Setiap saat, hikayat ini tersimpan di perigi hatimu. Aku pun tak heran jika bermain boneka, dokter-dokteran, atau petak umpet, tak pernah menjadi penggalan cerita kecilmu. Kau pun tertawa renyah tatkala kuingatkan tentang kegemaran bermain layang-layang di satu siang, hingga tercebur ke selokan kotor saking asyiknya. “Badan hitam-hitam semua. Aku sampai disabet dengan ikat pinggang sama bapak,” kenangmu tersipu.

Naluri seorang petarung itu begitu terlihat kala kau menjejakkan kaki di bangku sekolah menengah. Kala itu, kau bercita-cita jadi seorang teknisi. Lagi-lagi, sikap patuhmu yang kau tunjukkan ketika sang ibu justru menyuruhmu menjadi seorang pelayan medis, seorang penyembuh. Kau sempat menampik dengan alasan tak menyukainya. “Ya, mana mungkin aku suka kalau tak mencobanya,” begitu kilahmu.

Unappeased Pray

Hidup adalah epik panjang yang telah tertoreh pena Sang Pencipta. Lakon yang juga mesti kau jalankan. Peran yang terkadang berakhir manis, semanis madu. Terkadang menyayat, segetir empedu. Kerapkali bahagia terselip, sesekali nestapa menyelinap. Silih berganti bagai musim, bagai siang dan malam.

Menyimak riwayatmu, aku teringat omongan Charlie Chaplin, pesohor lalu. Dalam rentang yang dekat, kehidupan itu ibarat tragedi yang menyemburkan aura kesedihan. Tapi, dari jauh ia ibarat komedi, muara segala gelak dan tawa. Betul juga, bukan? Riang dan gulana, suka dan nestapa itu, setipis kulit bawang. Ayo, jujurlah padaku! Bukahkah kau juga acap sukar membedakannya.

Setiap udara yang kau hela selepas mimpi malammu, makin menebalkan keyakinanmu bahwa esok bukanlah milik manusia. Bahwa kehidupan ini ada yang punya. Maka, selagi Sang Pemilik rela meminjamkannya, adalah sebuah mukjizat tak terperi bagimu. ”Kita enggak tahu umur kita berapa panjang. Makanya, tiap pagi bangun tidur saya panjatkan puja-puji pada-Nya,” tuturmu, setengah berbisik.

Itulah yang membuat hari-harimu tetap saja indah terasa. Susah atau senang, riang ataupun gundah sama saja. Percayalah, Lula. Apa yang terlihat bukanlah sesungguhnya yang terjadi. Tak selamanya duka menurutmu, sengsara juga kata Sang Penguasa. Lagipula, kau yang meneguhkannya sendiri, pahit kehidupan telah menegarkan dan membijakkan hatimu.

Maka catatlah segala pinta yang kau ajukan pada-Nya. Betulkah semuanya telah terbayar tunai, Lula? Memang pintamu tak sekejap terkabulkan. Permohonanmu mensyaratkan ketulusan, kesabaran, dan pengorbanan. Ada hari di mana kau gigih meminta, ada pula waktu di saat kau sibuk menerima. Aku teringat ucapanmu itu, “Saya yakin, apapun yang diberikan Tuhan, itu yang terbaik buat saya. Kalau jelek, saya belum tahu bagusnya di mana. Kalau bagus, saya juga mesti hati-hati. Siapa tahu, ada cobaan lagi yang lain.”

Jika pun ada yang perlu kau sesali, itu karena terbatasnya kesempatanmu untuk berbalas kasih dengan sang adik. Memang, andai setiap orang tahu maut bakal menjemput seseorang yang kita kasihi, bahkan semesta lengkap dengan segala isinya menjadi sesembahan dari mereka yang tertinggal. Andai kau tahu usia adikmu tak lama, kau pasti memberikan yang terbaik untuknya. “Saya sadar, kebaikan saya belum cukup untuknya,” katamu.

Uncounted Talent

Tak terbayang rasanya bila keceriwisan itu bukanlah perangai yang mendarah daging dalam dirimu. Ya, tak hanya aku, siapa yang bisa mengenalimu. Sifatmu yang cerewet dan ceplas-ceplos adalah berkah yang telah kau temukan. Membuka gerbang keberhasilanmu. Membuka mata publik untuk tahu beragam hal darimu.

Tak hanya dikenal sebagai penyeru di bidang kesehatan, kau pun menjelma menjadi idola. Talenta seorang entertainer yang kau asah, melahirkan dirimu bukan semata penghias layar kaca. Kau pun menjadi seorang pembicara, pemandu acara di pelbagai ranah. Mulai dari persoalan kesehatan, narkoba, politik, gaya hidup, sosial budaya, motivasi, hingga urusan pengembangan diri.

Kau memang menyimpan sekian bakat. Keuletanmu dalam memoles bakat itulah yang membuat hidupmu lebih mudah. Pintar saja memang tak cukup, Lula. Seperti halnya dirimu, kecerdasan turut memberi peranan dalam memperkuat daya tahan hidupmu. “Memang ada pekerjaan pokok dan sampingan. Tapi, kadang yang kita pikir yang utama, malah jadi sampingan. Yang jadi sampingan malah jadi yang utama,” ucapmu.

Di bidang presenter, hatimu telah terpaut. Kau merasa bidang ini tepat untukmu. Ragam manfaat telah kau rengkuh, “Buat saya, bidang yang menyenangkan, ketemu banyak orang, bisa belajar banyak hal, juga memperluas networking.”

Walaupun demikian, kau teguhkan hati untuk tetap peduli pada dunia kesehatan. Sebagai dokter, kau tak pernah lupa berbagi. Aku yakin betapa riangnya para pengidap penyakit HIV/ AIDS, dan ketergantungan obat itu, datang ke proyek layanan tes dan pengobatan gratis di sejumlah lembaga pemasyarakatan di tanah air yang segera kau wujudkan.

Unfettered Time

Bahkan, rutinitas pekerjaan pun kau bisa jalani dengan santainya. Selain karena menyenangkan, kau juga menikmati pelbagai aktivitas ini. Kalau ada yang melelahkan bagimu, hanyalah kesemrawutan lalu lintas. Pekerjaanmu memang membutuhkan mobilitas tinggi.

Sebagai perempuan metropolitan, kau begitu mementingkan keseimbangan hidup. Kau benar-benar menikmati waktumu. Traveling, mendengarkan musik, berlatih di gym, nonton film horor di bioskop, adalah agenda pribadimu yang tak boleh terlewatkan. “Sekarang sudah enggak nge-disco lagi,” akumu. Bila memungkinkan, kau tak canggung bersosialisasi di kafe atau resto bersama rekan-rekan. Ya, sekadar menuruti kegemaranmu berpetualang selera. Mengunyah kudapan Italia, Jepang, atau kenikmatan karedok kesukaanmu.

Membaca pelbagai jenis buku adalah caramu mengintip cakrawala dunia. Mulai dari cerita pendek yang berhubungan dengan kehidupan, hingga komik Donald Bebek. Kau mengaku banyak belajar dari cerita bergambar yang biasa dibaca anak-anak ini. “Banyak lho kata-kata bijak di sana,” tuturmu. Malah, penggalan kata-kata bijak Donald kerap kau bawa ke seminar, menjadi referensi utama mengalahkan Teori Marketing Steven R. Covey.

Sebagai penampil di depan khalayak, kau pun paham akan keserasian berbusana. Kau gemari warna hitam yang bisa menyembunyikan bentuk asli tubuhmu. Pun warna hijau yang mencerahkan. Kau gemari pula warna-warna senada kulitmu. Tak bergantung pada bandrol, koleksi busana kasual hingga setelan resmi menggantung di almari pakaianmu.

Unbreakable Heart

Cinta. Perasaan ini yang membuatmu terlampau pasrah. Tak semata dirimu, rasa inilah yang menggerakkan begitu banyak pujangga dunia, mengabadikannya dalam larik-larik puisi. Mengilhami begitu banyak komposer dan musisi, mengabadikannya dalam simfoni dan lirik-lirik menggugah. Perasaan ini yang mengilhami banyak sineas dan sutradara, mengabadikannya dalam pita seluloid megah.

Makanya, jangan pernah mengecilkan kemampuan hati, Lula. Dalam sekejap, hati mampu menyapa cinta. Cintalah yang memercikkan rasa rindu, bahagia, berbagi tanpa pernah berhitung. Kau pun memaknai rasa ini begitu, “Tak ada hitungan sama sekali. Kalau ada pepatah, kalau kita mencintai hidup, maka kita mencintainya lebih daripada hidup itu sendiri.”

Keluhuran cinta meyakinkan dirimu akan adanya kesejatian rasa ini. Cinta sejati tak hidup di ruang kosong. Ia tak mesti didukung banyak hal. Sampai renta pun ia tak bakal datang sendiri tanpa dijemput, tanpa kerelaan berkorban. “Cinta tak akan hidup semata karena cinta. Cinta itu mesti dijaga, dipelihara.”

Tak heran jika kau bukanlah sosok yang mudah tertaklukkan. Kau yakinkan aku, keelokan fisik maupun desiran darah kala pandangan beradu pertama kali, tak mempan memanahmu sekalipun. “Saya bukan tipe orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama,” tuturmu, tegas. Kesucian cinta mengajarimu tentang kasih yang sebenar, tak bersemai dari raga, apalagi harta. Meneguhkanku bahwa rasa ini akan menyapamu setelah jalan-jalan panjang terlampaui.

Tapi, tahukah engkau akan kekuatan hati yang lain, Lula? Dalam bilangan detik, hati pula yang menggelontorkan cinta itu. Maka bercerminlah dari kegagalan membangun kerajaan cintamu kemarin. Kebeningan hatimulah yang memutuskannya cepat-cepat. Kebenaran itu tak pernah absolut, katamu. Apalagi kebenaran yang berlandaskan emosi, bukan logika. Ya, benar sekarang, belum tentu benar dua bulan mendatang.

Kembali ketegaran menghidupimu. Kau sebut dirimu seorang janda bahagia, yang tak mau termegap-megap dalam linangan kesedihan. Ya, tak perlu duka, apalagi malu itu bersemayam dalam kalbumu. Bukankah kehidupan telah memberikan kebahagian lain dari pintu yang tak kau duga? “Cuma rasanya kesempatan orang untuk menggodaku jadi lebih banyak. Orang mudah beranggapan, saya pasti butuh kasih sayang, sentuhan,” katamu, dengan seringai jenaka, “Orang boleh nyoba, tapi saya kan bisa nolak.”

Sampai berapa lama kebutuhan biologis layaknya perempuan dewasa menderamu? Itu yang tak kau sanggah. Keinginanmu akan kasih sayang, perhatian, dan belaian dari pasangan, memang tetap ada. “Mungkin perempuan lebih gampang dibanding laki-laki. Saya tak bisa langsung turn on, libido naik ketika melihat laki-laki, atau dipegang,” ucapmu lirih.

Lebih dari itu, tanggung jawabmu untuk menghidupi keluarga seorang diri lebih kau pentingkan di atas segalanya. Kebiasaan hidup mandiri sejak menikah pun menjadi resep jitu. “Kalaupun satu saat saya mesti sendiri lagi, tak ada masalah. Semua saya biasa tangani sendiri.” Ah, lesung pipi itu.

Unending Hope

Jika pun kau kembali berhasrat untuk memiliki pendamping cepat-cepat, bukan karena kesendirian telah melecutmu. Semata karena si buah hati, tuturmu. Naluri keibuanmu berkata, “Kasihan lihat dia tanpa kehadiran figur bapak.” Kini kau berada di jalan yang tepat, Lula. Jalan untuk menemukan seorang pelindung yang kau harapkan.

Sosok yang cocok dengan anak, itu kriteria utamamu. Cinta sang anak telah meluluhkan egomu, rupanya. Karenanya, kau tempatkan figur yang bisa menerimamu apa adanya di urutan berikutnya. Keterbukaan dalam segala hal, menjadi pelengkap mahligai yang kau dambakan.

Dalam berkarier, kau mengaku berpuas hati dengan apa yang kau toreh di dunia entertaint. Kendati, keinginan untuk memiliki program acara lebih menarik yang kau akui sendiri masih mengganjal di hati. “Saya ingin punya acara talkshow yang jauh lebih bagus lagi,” katamu, dengan kilatan optimisme di matamu.

Kodratmu sebagai pengabdi di dunia medis tak kau tinggalkan sepenuhnya. Di samping menyukseskan proyek pengobatan khusus bagi narapidana di lembaga pemasyarakat, kulihat harapanmu untuk mendirikan sejenis rumah sakit ketergantungan obat. “Saya berharap, segala bentuk pengobatan ada di sana, lengkap. Orang bisa memilih jenis pengobatan yang paling cocok buat dirinya. Orang juga bisa belajar di sana,” ujarmu, berapi-api. Memanas, sepanas bara.

Menghadap cakrawala, kau hembuskan semangat yang tak pernah penat. “Hidup ini terlalu indah kalau dilewatkan,” katamu berulang kali. Aku kini tahu apa yang tengah kau cari. Dan kau berdiri, berlari mengejar angan, meniti segara kehidupan yang telah tersurat. Kedua tanganmu terentang, serupa sayap elang.

Lulagrafi

Nama lengkap Lula Kamal LahirTinggi/berat 168 cm/60 kg Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, King’s College, London PekerjaanHobi Travelling, baca, renang, nonton, Prestasi Jakarta, 10 April 1970 Dokter/Presenter/Pembicara seminar/Motivator None Jakarta Pusat (1990), None DKI Jakarta (1990), Putri Kampus (1993), Perempuan Pilihan Matra (2000), Chevening Awards (2002).

Lonny Juanita, Bekerja Sambil Berpesta

Siapa yang tak butuh hiburan? Kehidupan metropolitan yang kian hiruk pikuk saja, makin meneguhkan bahwa sarana pelepasan rasa jenuh atau stres harus ada. Tingginya demand dan kebutuhan kaum urban akan hiburan itulah yang membuat tempat-tempat hang out di ibukota terus bertumbuhan. Score! salah satunya.

Sadar akan tingginya minat dan kebutuhan tersebut, Lonny Juanita optimis bahwa keberadaan Score! akan tetap diminati publik. Kafe yang mengusung konsep one stop entertainment ini memang menawarkan beragam hiburan pilihan. Mulai dari sportbar, permainan biliar, pertunjukan musik, hingga hidangan makanan berkualitas.

Turut serta mengemas acara hiburan menarik dan mensosialisasikan program agar mendapat animo pengunjung menjadi salah satu tugas keseharian Lonny, panggilan akrabnya. Selaku Public Relations Manager Score!, perempuan berusia 29 tahun ini kerap berada di garis terdepan, terutama bila sebuah program tengah diselenggarakan Score!

Di samping berhubungan dengan media serta membangun citra lembaga, ia juga mesti membangun keakraban dengan para pengunjung. Saking ramahnya, tak jarang para tamu yang datang mengartikan lain. Perlakuan iseng pengunjung tak jarang dialaminya. “Misalnya, ngajak kenalan atau makan,” kata dara berdarah Jawa dan Nusa Tenggara Timur, ini, dengan wajah tersipu.

Tapi, yang namanya public relation, tetap dituntut menghadapi suasana sepelik apapun dengan senyuman. Termasuk dengan aneka tingkah laku dan perlakuan pengunjung tadi. “Saya berusaha tidak meladeni. Tapi, sebisa mungkin sikap saya tak membuat mereka tersinggung,” tutur perempuan berambut panjang terurai yang sempat menekuni dunia modeling ini.

Pernahkah wanita rupawan ini dihinggapi rasa jenuh oleh pekerjaan? Tentu saja. Namun, atmosfer kerja yang memang sarat hiburan serta suasana keakraban antarrekan-rekan sejawat menjadi pelipur hati di kala rasa bosan menggelayut. “Makanya, saya bisa kerja sambil refreshing di sini,” ujar sang penggemar renang dan bowling. Di kala senggang, wanita karier yang tak biasa membawa pekerjaan ke rumah ini, menyempatkan waktu melirik kafe maupun tempat hiburan lain di ibukota.

Dalam dunia kerja, Lonny yang meneamtkan kuliah di Fakultas Sastra (Inggris) di Universitas Indonesia, Jakarta, juga kerap dibebani target oleh perusahaan. Tapi, “Target memicu kita lebih baik lagi di masa mendatang,” kilahnya. Yang penting, lanjutnya, lakukan tugas maupun target tersebut secara maksimal. “Saya masih ingin mewujudkan rencana-rencana Score! yang lain,” tutur Pemenang Ketiga Wajah Femina 1997 ini, lugas.

Ully Pebrianti, Bekerja Sambil Berkarya

Berkarier di dunia perhotelan memang mengasyikan. Selain salary yang memadai, juga beroleh kesempatan membangun networking yang luas. Hal inilah yang membuat Ully Pebrianti begitu menyukai profesinya sebagai Guest Relation Officer (GRO) Hotel Kedaton, Bandung, Jawa Barat. “Saya juga bisa mengetahui karakter masing-masing orang dari latar belakang budaya yang berbeda,” tutur lajang kelahiran Bandung, 27 Pebruari 1979, ini, seraya melepas senyum.

Dengan tugas melayani setiap pengunjung, mojang Parahyangan ini mesti tampil dengan performa tinggi setiap waktu. Tak heran jika senyum ramahnya bertebaran menyapa setiap pengunjung hotel tak henti-hentinya. “Dari yang mau cari informasi sampai complain saya yang hadapi,” ungkap putri ketiga dari empat bersaudara, pasangan Hendra Suriawinata dan Hanifah Sambas.

Kecintaan terhadap profesi kian menebalkan tekad Ully, panggilan akrabnya, untuk bekerja lebih profesional. Baginya, pekerjaannya sekarang merupakan peluang sekaligus tantangan. Demi obsesi meraih karier yang lebih baik, ia merelakan waktu pribadi maupun jam-jam istirahatnya terganggu. Demi pekerjaan, ia kerap harus pulang larut malam. Kendati demikian, alumnus STBA Yapari Bandung, 2002 lalu ini mengaku enjoy saja.

Sebagai sosok yang berada di garis terdepan dalam hal pelayanan, tentu ia mementingkan stamina dan kebugaran fisik. Untuk menjaga kebugaran, wanita muda yang pernah berkarier di Setia Budi Indah Hotel, Bandung, dan Citibank, ini, punya kiat sendiri. Selain jogging yang rutin dilakukan saban weekend di GOR Padjadjaran, meliuk-liukkan kuas di atas kanvas merupakan kegiatannya di kala santai. Baginya, melukis bisa menjadi pelarian, membuat pikiran senang dan fresh kembali.

“Lukisan saya alirannya ekspresionis. Antara naturalis dan abstrak,” jelasnya, seraya menambahkan, “Jadi masih bisa kelihatan obyeknya walaupun samar-samar.” Kali ini, wajah Ully tak setegang beberapa menit di muka. Senyumnya kian merekah, bertebaran ke segala arah. Anda berminat untuk dilukis? “Boleh, tinggal pesan saja,” canda Ully sambil tertawa lepas. Boleh juga.

Renata, Dara Merona

Ini cerita tentang dirimu

seorang perawan semampai

peranakan Jawa-Cina

serupa pesohor lalu

merengkuh hari
membentang noktah baru

dari panggung pamer

berbalut ragam busana

hinggap di ujung kamera

mematut diri sewarna rupa

menantang sinaran

Renata Kusmanto, namamu

***

Tak pernah terbenak
walau sebuih bersit
sosok penghibur, peraga

singgah di taman-taman hatimu

Pendidik, perancang

satu dua cita yang telah lewat

Sejak mimpi patah dini hari

mulailah sang hidup

menuntunmu ke sini

Di sini kau berada, Ren

memantikkan riang

menyigi khayalan

***

Di rindang hari yang terik

saat bayu mengibas-ngibas kebayamu

sunyi membelenggu

hari merambat malu-malu

laiknya dirimu di situ

Tak selamanya aku di sini

katamu, selirih bayu

Tapi tahukah engkau, Ata

manusia selalu merasa berkuasa

mampu berjalan atas hidupnya

padahal hanya itu yang ia punya

nuraninya masih takut

untuk merasa, untuk menerima

***

Ceritakan padaku

pencinta yang telah kau tunjuk

menjadi bulan di hari malammu
menjadi mentari pagimu
menjadi pelengkap cerita hidupmu

Buatmu, lelaki itu penting

yang bisa merindu

yang bisa menggundahkan

yang bisa menikammu di hadapan

Berpenampilan rapi

pemercik rasa nyaman di hati

yang bisa membuatmu merona

Enyahlah pembelenggu

pun egoisme itu

***

Ini cerita tentang dirimu, Rena

sebuah hikayat tentang dara

yang mengejar bayang sempurna

yang tak terpedaya

oleh linangan rayu semasa

melompatlah, menerjanglah

lakukan apa yang kau mau

jangan dengarkan bisikan semu

Kerjakan apa yang kau bisa

usah kau padamkan gelora

selagi hidup bisa merasa

***

RENATAGRAFI

Nama lengkap Renata Kusmanto Lahir Klaten, 7 November 1982 Pendidikan Desain Grafis, Universitas Pelita Harapan Tinggi/Berat 175 cm/50 kg Tokoh Panutan Audrey Hepbrun Hobi Nonton, jalan-jalan, main game Prinsip Hidup Tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali